Contoh Surat Rekomendasi

Dalam pekerjaan sehari-hari sering ditemukan teman-teman kesulitan dalam membuat redaksi surat rekomendasi yang tujuannya untuk memberikan rekomendasi terhadap suatu kegiatan, maka disini admin mencoba untuk berbagi pengalaman dalam membuat surat rekomendasi. semoga berguna !

Tokek (Gekko gecko)

Tokek rumah memiliki nama ilmiah Gekko gecko (Linnaeus, 1758). Dalam bahasa lain hewan ini disebut sebagai téko atau tekék (bahasa Jawa), tokék (bahasa Sunda), dan tokay gecko atau tucktoo (bahasa Inggris).

Cecak yang berukuran besar, berkepala besar. Panjang total mencapai 340 mm, hampir setengahnya adalah ekornya.
Dorsal (sisi punggung) kasar, dengan banyak bintil besar-besar. Abu-abu kebiruan sampai kecoklatan, dengan bintik-bintik berwarna merah bata sampai jingga. Ventral (perut, sisi bawah tubuh) abu-abu biru keputihan atau kekuningan. Ekor membulat, dengan enam baris bintil; berbelang-belang.

Jari-jari kaki depan dan belakang dilengkapi dengan bantalan pengisap yang disebut scansor, yang terletak di sisi bawah jari. Gunanya untuk melekat pada permukaan yang licin. Maka, dari sisi atas jari-jari tokek nampak melebar.

MIGRASI BURUNG

Migrasi sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh perubahan iklim ekstrem dan hibernasi spesies mangsa, tetapi juga oleh faktor reproduksi, temperatur, pola persaingan, perilaku dispersal atau pemencaran. Biasanya ada empat tipe migrasi :

  1. Migrasi jarak jauh atau interkontinental. Ini berlangsung antar benua atau antarregional berdasarkan garis lintang. Migrasi ini disebabkan oleh perbedaan di musim di wilayah utara dan selatan Bumi. Disebut pula sebagai migrasi interkontinental.
  2. Migrasi jarak pendek atau parsial. Ini berlangsung antar pulau atau antarketinggian, migrasi ini hanya menjelajahi wilayah regional yang sempit karena perbedaan musim setempat.
  3. Migrasi latitudinal. Ini berlangsung berdasarkan luas jangkauannya secara horizontal, karena adanya perbedaan musim atau temperatur latitudinal (horizontal). Spesies dengan tipe migrasi ini umumnya memiliki jangkauan jauh dalam bermigrasi sehingga migrasi latitudinal juga dianggap sebagai migran interkotinental.
  4. Migrasi altitudinal. Ini berdasarkan adanya perbedaan iklim atau musim di wilayah yang memiliki ketinggian yang berbeda, misalnya, migrasi spesies dari gunung ke wilyah hutan pantai pad musim breeding. Karena wilayah migrasinya sempit, bisa dalam satu kepulauan atau antarpulau, migrasi ini juga disebut migrasi jarak pendek atau parsial.

Sebagian besar migrasi yang terjadi bersifat latitudinal, dari boreal (daerah bumi bagian utara) atau temperate (mengalami musim panas yang panjang dan musim dingin yang pendek) ke daerah temperate atau tropikal, dan sebaliknya, tetapi ada juga yang mencakup longitudinal dan latitudinal, sebagai contah pada burung yang berasal dari interior daratan yang bergerak ke area pesisir pantai atau burung dari daerah pegunungan yang bergerak ke daerah daratan rendah.

Burung yang bermigrasi dicirikan dengan sayap yang panjang dan semping (burung air seperti burung camar, walet, layang-layang) atau yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan aliran udara seperti bangau dan beberapa burung pemangsa

Sebagian besar burung melakukan migrasi pada malam hari, dan beristirahat serta mencari pakan pada siang hari. Burung perancah, mandar-padi dan itik atau mentok juga bermigrasi pada malam hari. Sebaliknya burung-burung yang cara terbangnya tergantung pada aliran udara panas seperti burung bangau, pelikan, burung pemangsa, bermigrasi pada siang hari.

HUTAN ALAM CIBODAS TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

Sejarah Kawasan

Status Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diawali ketika pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan SK Gubernur Jendral Hindia-Belanda No. 50 Tanggal 17 Mei 1889 dengan ditetapkannya Kebun Raya Cibodas dan areal hutan seluas 240 hektar sebagai contoh flora pegunungan di pulau Jawa dan sekaligus sebagai hutan lindung

Melalui SK Gubernur Jendral Hindia-Belanda No. 7 Tanggal 05 Januari 1925 ditetapkan daerah puncak Gunung Gede, Gunung Gemuruh, Gunung Pangrango, daerah Sungai Cibodas dan Ciwalenyang seluruhnya meliputi areal seluas 1040 hektar sebagai cagar alam dengan nama Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede.

Pada tanggal 06 Maret 1980, kawasan Gunung Gede Pangrango ditetapkan oleh Menteri Kehutanan untuk dikelola sebagai kawasan Taman Nasional dan luas kawasan seluruhnya adalah 15.196 hektar, yang mencakup Cagar Alam Gunung Gede Pangrango 14.000 hektar, Cagar Alam Cibodas Gunung Gede 1040 hektar, Taman Wisata Situ Gunung 100 hektar dan Cagar Alam Cimungkat 56 hektar.

Sejak Tahun 1984, sejalan dengan perbanyakan Depertemen Kehutanan, kawasan inti dikelola oleh unit pelaksana teknis TNGP sebagai kawasan pelestarian alam dengan konsep Pengelolaan Taman Nasional sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 096/KPTS-II/UM/84. Status kawasan mendapatkan dasar hukum yang sah pada tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya.

Taman Nasional ini bila ditingkatkan dalam pengelolaannya diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pihak pengelola maupun masyarakat sekitarnya, antara lain dengan terbukanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat sekitar hutan serta manfaat yang lainnya.

Letak dan Luas

Secara geografis kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango terletak diantara 106º51’-107º02’ BT dan 64º10’-65º1’ LS. Menurut administrasi pemerintahan, kawasan ini termasuk ke dalam 3 wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Luas wilayah taman nasianal ini berdasarkan penetapannya (Pengumuman Menteri Pertanian tanggal 6 Maret 1980) adalah 15.196 Ha yang menurut wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Dati II Bogor 4.514; 73 Ha, Cianjur 3.899; 29 Ha, dan Sukabumi 6.781; 98 Ha.

Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dibagi menjadi 3 Rayon dan 10 Resort, yaitu Rayon Bodogol yang terdiri dari Resort Bodogol Resort Cimande dan Resort Cisarua; Rayon Cibodas  yang terdiri dari Resort Cibodas, Resort Gunung Putri dan Resort Gedeh; serta Rayon Salabintana yang terdiri dari Resort Goalpara, Resort Salabintana, Resort Cimungkat dan Resort Nagrak.

Topografi

Keadaan topografi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bervariasi dari landai sampai bergunung. Secara umum, topografi kawasan ini merupakan bukit dan gunung dengan sedikit daerah landai karena berada pada ketinggian 1000 – 3019 mdpl. Baik di Gunung Gede maupun Pangrango banyak terdapat jurang yang dalam dengan kedalaman 70 m.

Iklim

Curah hujan didalam kawasan TNGP berkisar antrara 3000 – 4200 mm/tahun. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober – Mei dengan curah hujan bulanan rata-rata 2000 mm, sedang pada bulan Desember-Maret curah hujan mencapai 400 mm. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September dengan curah hujan 100 mm. Berdasarkan klasifikasi iklim dari Schmidt dan Ferguson tipe iklim kawasan ini termasuk kedalam tipe A dengan nilai Q berkisar antara 5% – 9%.

Temperatur di Cibodas berkisar antara 18ºC pada siang hari dan di Puncak Gunung Gede dan Pangrango 10ºC. Sedang pada malam hari temperatur di Puncak berkisar 5ºC. Namun pada musim kering/kemarau, suhu di Puncak Gunung Gede maupun Pangrango dapat mencapai 0ºC. Kelembaban udara relatif sepanjang tahun termasuk sangat tinggi, yaitu berkisar antara 80% – 90%.

Hidrologi

            Sungai – sungai yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional gunung Gede Pangrango, secara umum membentuk pola radial. Berdasarkan data yang tersedia, terdapat 50 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan ini. Hal ini menyebabkan kawasan ini mempunyai peranan penting sebagai penyangga kehidupan , yaitu dalam penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah. Pada umumnya sungai–sungai tersebut mengalir sepanjang tahun dengan debit yang relatif tetap atau tidak berfluktuasi tinggi.

            Di daerah kawah Gunung Gede terdapat 2 lubang yang merupakan penampungan air pada saat hujan lebat. Air yang terkumpul membentuk aliran kecil di bawah permukaan melalui lapisan pasir yang berporositas tinggi dan selanjutnya mengalir ke dasar kawah dan kemudian muncul sebagai aliran air panas dengan suhu ± 75° C di lereng Utara Gunung Gede pada ketinggian 2150 mdpl.

            Beberapa sungai penting yang berhulu di dalam kawasan Taman Nasional antara lain : Sungai Cimandiri yang mengalir ke arah selatan dan bermuara di Pelabuhan Ratu; Sungai Cisarua dan Cinagara mengalir ke arah barat daya yang merupakan sumber utama Sungai Ciliwung dan kali Angke dan bermuara di laut Jawa; Sungai Cikundul dan Cianjur Leutik yang mengalir ke arah timur dan bermuara di Sungai Citarum.

Geologi dan Tanah

Gunung Gede dan Pangrango merupakan bagian dari jalur gunung berapi yang membujur dari Sumatera, Jawa sampai Nusa Tenggara. Rangkaian gunung ini terbentuk akibat dari pergeseran lapisan kulit bumi secara terus menerus selama periode aktivitas geologi yang tidak stabil, yaitu pada periode Quartener. Secara umum, lapisan batuan yang terdapat didaerah ini merupakan batuan vulkanik seperti Andesit, Tuff, Basalt, Lava Breksi, Breksi mekanik dan Piroklasik. Lapisan dasar dari batuan ini terdiri dari non vulkanik yang lebih tua. Gunung Gede adalah salah satu dari 35 gunung api yang masih aktif pada jalur ini, sedangkan Gunung Pangrango telah dinyatakan mati karena tidak terdapat tanda-tanda keaktifannya. Jenis tanah di kawasan TNGP terdiri dari jenis tanah Regosol, asosiasi Andosol dan Regosol dan jenis tanah Latosol Coklat.

Aksesibilitas

            Kawasan TNGP dapat dicapai melalui 4 jalan masuk yaitu: Cibodas (Cianjur), Gunung Putri (Cianjur), Salabintana (Sukabumi) dan Situgunung (Sukabumi). Kecuali dari Situgunung, puncak Gunung Gede Pangrango dapat dicapai melalui jalan setapak yang tersedia dari jalan masuk tersebut.

            Jalan masuk utama di Cibodas terletak 100 km dari Jakarta ke arah Cianjur (2½ jam) dan 85 km dari Bandung ke arah Bogor (2 jam). Gunung Putri terletak hanya beberapa km dari Cibodas dapat dicapai melalui Cipanas atau Pacet. Situgunung terletak 15 km dari Sukabumi ke arah Bogor dan Salabintana terletak 15 km di utara Sukabumi.

Flora dan Fauna

Tumbuhan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut ekosistemnya, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun jenisnya. Menurut hasil penelitian tumbuhan yang pernah dilakukan, di dalam kawasan ini tercatat lebih dari 900 jenis tumbuhan berbunga, 400 jenis tumbuhan paku serta berbagai jenis tumbuhan lumut, ganggang dan jamur. Bahkan Meijer pada tahun 1959 melakukan penelitian dan perhitungan jumlah jenis dalam 1 ha hutan Sub Montana menemukan 331 jenis tumbuhan, diantaranya adalah 78 jenis pohon dan 100 jenis epifit.

            Pada ketinggian 1000 – 1500 m dpl, terdapat ekosistem Sub Montana. Ekosistem ini merupakan hutan dengan keragaman jenis yang tinggi dengan tiga strata tajuk yang jelas ditandai dengan pohon – pohon besar dan tinggi. Jenis – jenis dominan menurut strata adalah :

a.Yang mencapai ketinggian lebih dari 60 m : Altingia excelsa dan Castanops argentea.

b.Yang mencapai ketinggian antara 10 – 20 m : Antidesma tetandrum dan Litsea sp.

c. Berupa belukar ( 3 – 5 m ) : Ardisia fuliginosa dan Dichora febrifuga.

            Pada ketinggian 1500-2400 mdpl dijumpai ekosistem montana. Ekosistem ini merupakan hutan dengan keragaman jenis yang mulai menurun dan ditandai dengan sedikitnya jenis tumbuhan bawah. Jenis pohon yang dijumpai diantaranya Puspa (Schima walichii) yang daun mudanya berwarna merah dan Darycarpus imbricatus, jenis berdaun jarum.

            Pada ketinggian di atas 2400 – 3019 m dpl dijumpai ekosistem Sub Alpin. Ekosistem ini merupakan hutan dengan keragaman jenisnya rendah ditandai dengan pohon-pohon kerdil. Jenis pohon dominan adalah Vaccinium varingaefolium dengan batang ditumbuhi lumut janggut. Kekhasan hutan ini adalah terdapatnya dataran yang ditumbuhi rumput Isachne pangrangensis dan Edelweiss ( Anaphalis javanica) yang juga dikenal sebagai bunga abadi.

            Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dengan berbagai ekosistem yang terdapat di dalamnya merupakan habitat dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Berdasarkan informasi Junghuhn ( 1839 ), di kawasan Taman Nasional pernah dijumpai badak jawa (Rhinocerus sundaicus). Namun, tidak ditemukan catatan resmi mengenai keberadaan jenis satwa ini.

            Jenis-jenis satwa langka yang masih dapat dijumpai pada saat ini, antara lain: primata, yaitu Owa Jawa (Hylobates moluch), Surili (Presbytis comata), Lutung (Trachypithecus auratus), serta pemangsa seperti macan tutul (Phantera pardus), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), kucing akar (Mustela flavigula) dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus). Disamping itu terdapat pula jenis satwa lainnya seperti sigung (Mydaus javanensis), kijang (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus).

            Kawasan ini juga terkenal karena keragaman jenis burungnya, yang dijumpai 251 jenis dari 460 jenis yang tercatat hidup di pulau Jawa atau lebih dari 50%. Menurut Bird Life International (1994) dalam departemen kehutanan, Ditjen PHPA, TNGP (1994), di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango hidup 19 dari 20 jenis burung endemik pulau jawa, diantaranya adalah elang jawa (Spizaetus bartelsi). Jenis-jenis burung langka dan menarik yang dapat dijumpai di kawasan ini antara lain burung Hantu (Ottus angelinae), burung Luntur gunung (Harpactes reinwardti), burung cerecet (Psaltria exilis) dan burung madu gunung (Aethpyga eximia). Kekayaan jenis burung ini mempesona terutama bagi para peneliti dan pengamat burung dari berbagai penjuru dunia.

KPM”Tarsius” menyuarakan aspirasi dalam konservasi mamalia di Indonesia

Kelompok Pemerhati Mamalia  ”Tarsius”

Kelompok Pemerhati Mamalia “Tarsius” atau disingkat KPM “Tarsius” merupakan badan semi otonom berada dibawah Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) didirikan pada tanggal 28 November 2004. Kata Tarsius atau Krabuku ingkat diambil dari jenis primata yang hidupnya nokturnal (aktivitas malam hari), berukuran kecil, berwarna coklat abu-abu pucat atau gelap, dengan bola mata besar Primata ini langka dan merupakan binatang yang khas serta menarik dari nilai estetikanya.

Visi : Mewujudkan mahasiswa konservasi mamalia Indonesia

Misi : Menciptakan sumberdaya manusia konservasi yang memiliki kemampuan dalam hal-hal yang berkaitan dengan mamalia dan memahami aspek sosial yang ditimbulkan serta mewujudkan rasa kepedulian terhadap mamalia yang berwawasan ilmiah.

 

sumber :

http://www.kpmtarsius.wordpress.com

Tupai Akar (Tupaia glis)

a. Scandentia

Bangsa Scandentia dulunya dimasukkan ke dalam bangsa insectivora dan primates. Di dunia ini mempunyai anggota 5 marga dan 16 jenis. Dari sejumlah 30 itu, 3 marga dan 13 jenis dapat dijumpai di Indonesia dan malaysia Timur. Bangsa tupai hanya terdapt di Benua Asia dan hanya memiliki anggota suku tunggal yaitu tupaiidae. Di Jawa hanya ada 2 jenis tupai.

          Kelompok ini berpenampilan seperti  bajing. Berbeda dengan bajing, tupai tidak mempunyai kumis yang panjang. Moncongnya pun lebih panjang dan meruncing serta tidak mempunyai sepasang gigi seri yang besar berebntuk pahat.

Seperti bangsa bajing, bangsa tupai umumnya aktif mencari makan pada siang hari. Tupai umumnya pandai memanjat dan memiliki indera penglihatan, pendengaran dan penciuman yang baik. Makanannya terdiri dari serangga dan buah-buahan, namun kadang kala juga memakan bagian tumbuhan dan binatang lain. Salah satu jenisnya yaitu tupai akar (Tupaia glis) sudah dipakai sebagai hewan percobaan untuk biomedis.

1.    Tupai akar (Tupaia glis)

Klasifikasi Tupai akar adalah :

Kingdom        : Animalia

Filum            : Chordata

Subfilum        : Vertebrata

Klas              : Mammalia

Ordo             : Scandentia

Famili            :Tupaiidae

Genus          : Tupaia

Spesies         : Tupaia glis 

 Identifikasi. Rambut bagian atas berbelang-belang gelap dan pucat, terdapat bintik halus coklat atau coklat kemerahan (tengguli). Biasanya mempunyai suatu garis pucat pada kedua bahu. Jenis serupa : Tupai indah T. splendidula rambut ekornya sergam kemerahan, tidak ada palang; Tupai gunung T. montana kaki belakangnya lebih pendek dan terdapat pada daerah yang lebih tinggi. Ekologi dan habitat. Bersifat diurnal, paling sering terlihat aktif disekitar pohon-pohon tumbang dan dahan-dahan, pada vegetasi yang sedikit pohonnya atau dipermukaan tanah.  Makanan utamanya adalah serangga dan artropoda lainnya, dan buah-buahan manis atau mengandung minyak. Terdapat dihutan dan juga dibeberapa kebun dan perkebunan di dekat hutan.

         Menurut keterangan masyarakat satwa ini menyenangi daerah-daerah yang terbuka atau bekas areal logging. Dimana satwa ini sering kali berada pada batang pohon yang sudah rebah.

sumber :

Payne, J.,Francis C.M., Phillips, K. 1985. A Field Guide To The Mammals of Borneo. The Sabah Society dan WWF Malaysia. Petaling Jaya, Malaysia.

Warga Malaysia Tersangka Pembantaian Orang Utan

TEMPO.CO, Balikpapan – Kepolisian Daerah Kalimantan Timur menetapkan Manajer PT Khaleda Agroprima Malindo berinisial PCH sebagai tersangka pembantaian orang utan di Kutai Kertanegara. Warga Malaysia tersebut diduga memerintahkan serta mendanai pembasmian satwa langka itu.

“Sudah kami tahan di Polres Kutai Kertanegara,” kata Kepala Bidang Humas Polda Kalimantan Timur Komisaris Besar Wisnu Sutirta, Kamis, 24 November 2011.

Selain PCH, kata Wisnu, polisi juga menahan salah satu karyawan PT Khaleda berinisial W, yang merekrut dua pelaku lapangan. Menurut Wisnu, PCH memerintahkan W untuk membunuhi orang utan sebab hewan itu dianggap hama yang kerap merusak kebun sawit milik PT Khaleda.

Polisi telah menetapkan empat tersangka kasus ini, yaitu PCH, W, I dan M. Polisi masih mengembangkan kasus ini untuk mengungkap aliran dana perusahaan kepada para pelaku lapangan.

SG WIBISONO